PERSEPSI
1.
Pengertian
Persepsi
Setiap manusia yang memiliki panca indera
berkemungkinan untuk membentuk persepsi-persepsi masing-masing dalam
pikirannya. Baik itu persepsi positif maupun persepsi negatif tergantung pada
pengalaman yang ditangkap panca inderanya. Persepsi diawali dengan penglihatan yaitu sesuatu
keadaan yang ditangkap oleh mata
ketika peserta didik diberikan rangsangan. Persepsi memiliki
kaitan erat antara panca indera dengan otak manusia. Menurut Karwono
dan Mularsih
(2010: 24) menyatakan bahwa “Persepsi adalah interpretasi tentang situasi
yang hidup.”
Sejalan dengan Rakhmat (2011: 50) bahwa “Persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.” Demikian persepsi menyangkut dengan
pengalaman seseorang tentang suatu situasi dan peristiwa dan menafsirkan
informasi yang terkandung dari situasi yang dialami. Kemudian senada dengan
pendapat diatas, menurut Walgito (2010: 99) menyatakan persepsi merupakan:
Suatu
proses yang didahului oleh proses penginderaan, sedangkan penginderaan
merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera
atau juga disebut proses sensori. Stimulus yang mengenai alat individu tersebut
kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari
tentang apa yang diinderanya itu.
Selain itu
menurut Mar’at
dan Kartono (2006: 9) “Persepsi merupakan bagaimana seseorang menerima
stimulasi dan diolah, dan diteruskan sebagai suatu kesatuan utuh yang berguna
serta terdapat unsur yang ada pada diri setiap manusia yang mempengaruhi proses
persepsi.” Kemudian menurut
Shaleh (2009: 110) “Persepsi adalah Proses yang menggabungkan dan mengorganisir
data-data indra kita (pengindraan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga
kita dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk diri kita sendiri.”
Berdasarkan
uraian di atas, bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana penilaian, anggapan dan penafsiran pada stimulus dalam
lingkungan melalui pengindraan
oleh individu melalui alat indera, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan
penciuman. Persepsi juga didasarkan pada pengalaman tentang objek, peristiwa yang
diperoleh melalui informasi dan pesan-pesan yang didapatkan selama ini. Berfungsinya alat indera yang didasarkan
pada pengalaman yang individu dapatkan selama ini membentuk penilaian dan
penafsiran terhadap suatu objek tertentu.
2. Syarat-Syarat Terjadinya Persepsi
- Persepsi tidak terjadi secara tiba-tiba, namun melalui proses dengan syarat-syarat tertentu. Individu dalam memberikan penilaian dan penafsiran terhadap suatu objek berkaitan dengan indera yang cukup dan berfungsinya alat indera tersebut. Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan sebelum individu mengadakan persepsi, menurut Walgito (2010: 101) ada tiga syarat terjadinya persepsi yaitu:
a. Adanya objek (sasaran yang diamati)
Objek
atau sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau rangsangan yang
mengenai alat indera. Objek dalam hal ini adalah kegiatan konseling individual,
dimana konseling individual atau stimulus mengenai alat indera atau merupakan
reseptor yang bisa berasal dari dalam maupun dari luar.
b. Adanya indera yang cukup.
Alat
indera yang dimaksud adalah alat indera yang menerima stimulus yang kemudian
diterima dan diteruskan oleh syaraf sensorik yang selanjutnya akan disampaikan
kesusunan saraf pusat sebagai kesadaran. Oleh karena itu siswa diharapkan
mempunyai panca indera yang cukup baik sehingga stimulus yang diterima akan
diteruskan kesusunan saraf otak.
c. Adanya perhatian
Perhatian
adalah langkah awal atau yang kita sebut sebagai persiapan untuk mengadakan
persepsi, sehingga perhatian siswa kepada kegiatan konseling individual adalah
fokus utama yang kita laksanakan karena tanpa perhatian persepsi tidak akan
terjadi.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dilakukan sebelum melakukan persepsi. Syarat yang harus ada adalah adanya obyek yang dipersepsi yang menjadi
sasaran utama dalam mengamati dengan indera yang dimiliki individu, adanya indera yang cukup untuk menerima
respon/stimulus yang masuk dalam artian indera yang dimiliki
berfungsi dengan baik,
dan adanya perhatian yang akan menimbulkan stimulus atau rangsangan yang
mengenai alat indera. Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi
maka persepsi akan muncul pada diri individu.
3. Ciri-Ciri Persepsi
Persepsi berkaitan erat dengan penginderaan yang terjadi
dalam kondisi sadar. Pengideraan yang berarti dan membekas dalam ingatan
menghasilkan persepsi tertentu. Persepsi juga memiliki ciri-ciri tertentu yang
berkaitan dengan penginderaan dan panca indra, berkaitan dengan dimensi ruang
yang ada, demikian pula berkaitan
dengan dimensi waktu. Seperti halnya yang diungkapkan oleh ahli berikut agar
dihasilkan suatu penginderaan yang bermakna, ada ciri-ciri tertentu dalam dunia
persepsi menurut Sobur (2003: 470) yaitu:
a. Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap
indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing-masing indera (cahaya untuk
penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi pendengaran;
sifat permukaan bagi peraba).
b. Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita dapat mengatakan
atas-bawah, tinggi-rendah, luas-sempit, latar depan-latar belakang).
c. Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu; seperti cepat-lambat, tua-muda.
d. Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur
yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan.
e. Dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung melakukan pengamatan
atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang
berhubungan dengan tujuan dalam diri kita.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa ciri-ciri
persepsi yaitu: rangsangan-rangsangan yang diterima harus sesuai dengan pancaindra,
mempunyai sifat ruang, mempunyai dimensi waktu, mempunyai struktur yang
menyatu, dan persepsi mempunyai dunia penuh arti. Kesesuaian antara rangsangan
dengan panca indra akan membentuk suatu informasi yang bermakna dan berarti
yang memiliki sifat ruang dan waktu dalam dimensi tertentu.
4. Indikator-Indikator
Persepsi
Persepsi yang merupakan
proses penilaian dari hasil pengideraan memiliki beberapa indikator. Persepsi
masing-masing orang berbeda karena adanya indikator evaluasi sebagai respon dari rangsangan luar yang ditangkap
indera. Hal ini berdasarkan pendapat ahli berikut ada beberapa indikator dalam persepsi, Menurut Robbin (2003:
124-130), indikator-indikator persepsi ada dua macam, yaitu:
a.
Penerimaan yaitu proses penerimaan
merupakan indikator terjadinya persepsi dalam tahap fisiologis, yaitu
berfungsinya indera untuk menangkap rangsang dari luar.
b.
Evaluasi yaitu: rangsang-rangsang dari
luar yang telah ditangkap indera, kemudian dievaluasi oleh individu. Evaluasi
ini sangat subjektif. Individu yang satu menilai suatu rangsang sebagai sesuatu
yang sulit dan membosankan. Tetapi individu yang lain menilai rangsang yang
sama tersebut sebagai sesuatu yang bagus dan
menyenangkan.
Meskipun rangsangan yang diterima indera dari
individu satu dengan yang lain sama, namun setiap individu memiliki cara
evaluasi yang berbeda-beda. Sejalan dengan pendapat di atas
juga diungkapkan oleh ahli lain seperti halnya
menurut Hamka (2002: 101-106), indikator persepsi ada dua macam, yaitu:
1)
Menyerap, yaitu stimulus yang berada di
luar individu diserap melalui indera, masuk ke dalam otak, mendapat tempat. Di
situ terjadi proses analisis, diklasifikasi dan diorganisir dengan
pengalaman-pengalaman individu yang telah dimiliki sebelumnya. Karena itu
penyerapan itu bersifat individual berbeda satu sama lain meskipun stimulus
yang diserap sama.
2)
Mengerti atau memahami, yaitu indikator
adanya persepsi sebagai hasil proses klasifikasi dan organisasi. Tahap ini
terjadi dalam proses psikis. Hasil analisis berupa pengertian atau pemahaman.
Pengertian atau pemahaman tersebut juga bersifat subjektif, berbeda -beda bagi
setiap individu.
Sedangkan
menurut Walgito (1990: 54-55) indikator persepsi ada tiga macam yaitu:
(a)
Penyerapan terhadap rangsang atau objek
dari luar individu. Rangsang atau objek tersebut diserap atau diterima oleh
panca indera, baik penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pencecap
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dari hasil penyerapan atau
penerimaan oleh alat-alat indera tersebut akan mendapatkan gambaran, tanggapan,
atau kesan di dalam otak. Gambaran tersebut dapat tunggal maupun jamak,
tergantung objek persepsi yang diamati. Di dalam otak terkumpul gambaran-gambaran
atau kesan-kesan, baik yang lama maupun yang baru saja terbentuk. Jelas
tidaknya gambaran tersebut tergantung dari jelas tidaknya rangsang, normalitas
alat indera dan waktu, baru saja atau sudah lama.
(b)
Pengertian atau pemahaman yaitu: setelah
terjadi gambaran-gambaran atau kesan-kesan di dalam otak, maka gambaran
tersebut diorganisir, digolong–golongkan (diklasifikasi), dibandingkan,
diinterpretasi, sehingga terbentuk pengertian atau pemahaman. Proses terjadinya
pengertian atau pemahaman tersebut sangat unik dan cepat. Pengertian yang
terbentuk tergantung juga pada gambaran-gambaran lama yang telah dimiliki
individu sebelumnya (disebut apersepsi).
(c)
Penilaian atau evaluasi yaitu: setelah
terbentuk pengertian atau pemahaman , terjadilah penilaian dari individu.
Individu membandingkan pengertian atau pemahaman yang baru diperoleh tersebut
dengan kriteria atau norma yang dimiliki individu secara subjektif. Penilaian
individu berbeda-beda meskipun objeknya sama. Oleh karena itu persepsi bersifat
individual.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
indikator persepsi ada tiga, yaitu menyerap atau menangkap rangsang atau objek
diluar individu dengan mengamati melalui panca indera, mengerti dan memahami
objek yang telah diserap sebelumnya dan meninggalkan kesan dalam otak individu,
dan menilai dari keseluruhan objek dengan membandingkan wawasan dan pengalaman
yang diyakini oleh individu.
Secara garis besar indikator persepsi meliputi pengamatan, pemahaman dan
penilaian.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi persepsi, berikut diuraikan beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi itu sendiri. Persepsi mahasiswa terhadap profesi guru Bimbingan
dan Konseling atau konselor
merupakan pandangan atau pendapat mahasiswa terhadap profesi guru bimbingan dan konseling. Faktor tersebut dapat muncul dari
dalam maupun dari luar individu itu sendiri. Menurut Walgito (2010: 101) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi itu sendiri, diantaranya sebagai berikut:
a. Adanya objek (sasaran yang diamati)
Objek atau
sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau rangsangan yang mengenai
alat indera. Objek dalam hal ini adalah kegiatan konseling individual, dimana
konseling individual atau stimulus mengenai alat indera atau merupakan reseptor
yang bisa berasal dari dalam maupun dari luar.
b. Adanya indera yang cukup.
Alat indera yang
dimaksud adalah alat indera yang menerima stimulus yang kemudian diterima dan
diteruskan oleh syaraf sensorik yang selanjutnya akan disampaikan kesusunan
saraf pusat sebagai kesadaran. Oleh karena itu siswa diharapkan mempunyai panca
indera yang cukup baik sehingga stimulus yang diterima akan diteruskan
kesusunan saraf otak.
c. Adanya perhatian
Perhatian adalah langkah awal atau yang kita sebut sebagai persiapan untuk
mengadakan persepsi, sehingga perhatian siswa kepada kegiatan konseling
individual adalah fokus utama yang kita laksanakan karena tanpa perhatian
persepsi tidak akan terjadi.
Selanjutnya
Menurut
Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah
sebagai berikut:
1)
Faktor
internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau
harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai
dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.
2)
Faktor
eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan
kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal
baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.
Kemudian menurut Rakhmat (2011: 54-60) terbentuknya persepsi pada diri individu dipengaruhi oleh banyak hal yaitu:
Bahwa
faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain; a) faktor fungsional,
yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, sifat-sifat individual dan
hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal.
Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik
orang yang memberikan stimuli itu. Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi
yaitu persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa
objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang
memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. b) Faktor struktural,
berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang
ditimbulkannya. Pada faktor ini, Krech dan Crutchfield (1985) menyebutkan bahwa
medan persepsual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Ini
berarti bahwa seseorang mengorganisasikan stimuli dengan melihat
konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima itu tidak lengkap, orang akan
mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang
dipersepsi.
Kemudian menurut Walgito (2004: 90) menyatakan “Beberapa faktor yang berperan, yang
merupakan syarat agar terjadi persepsi, yaitu: (1) objek atau stimulus yang
dipersepsi; (2) Alat indra dan syaraf-syaraf serta pusat susunan syaraf, yang
merupakan syarat fisiologis; dan (3) perhatian yang merupakan syarat psikologis.”
Berdasarkan
uraian di atas, ada beberapa yang menentukan persepsi yaitu faktor internal yang
berasal dari dalam diri individu seperti perasaan, keingina, prasangka dan yang berkaitan dengan keinginan individu,
pengalaman yang dimiliki, keluasan wawasan individu terhadap objek tersebut. faktor eksternal yang berasal dari luar diri
individu seperti latar belakang keluarga, intensitas individu
dalam berinteraksi dengan objek tersebut. faktor fungsional yang berkaitan dengan pengalaman
masa lalu dan kebutuhan, dan faktor struktural yang ditimbulkan dari rangsangan
fisik dan efek-efek syaraf suatu individu.
6. Proses Terjadinya Persepsi
Persepsi terjadi karena adanya pemahaman terhadap rangsang atau stimulus yang diperoleh oleh
panca indera kemudian
dievaluasi sesuai dengan rangsang yang ditangkap indera dan pengetahuan individu serta wawasan yang
dimilikinya. Proses terjadinya persepsi melalui proses secara fisik dan
psikis. Sesuai pendapat Sobur (2003: 446)
bahwa:
Proses terjadinya persepsi merupakan
bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan
ditetapkan kepada manusia. Subproses psikologis lainnya yang mungkin adalah
pengenalan, perasaan, dan penalaran. Persepsi dan kognisi diperlukan dalam
semua kegiatan psikologis.
Sejalan
dengan hal itu menurut Walgito (2010:
102) juga mengungkapkan bahwa:
Proses terjadinya persepsi adalah
dengan adanya objek yang menimbulkan stimulus dan stimulus tersebut mengenai
alat indera atau yang biasa disebut resptor. Antara objek dan stimulus itu
berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus menjadi satu, misalnya
dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung mengenai kulit, sehingga akan
terasa tekanannya. Pada proses persepsi perlu ada perhatian sebagai langkah
persiapan dalam persepsi, karena keadaan menunjukkan individu tidak hanya
dikenai satu stimulus saja, tetapi dikenai bermacam stimulus yang ditimbulkan
oleh keadaan sekitarnya.
Sedangkan menurut Hamka
(2002: 81), proses terjadinya persepsi melalui tahap–tahap sebagai berikut:
Tahap pertama,
merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik,
yaitu proses ditangkapnya suatu stimulus (objek) oleh panca indera. Tahap
kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, yaitu proses
diteruskannya stimulus atau objek yang telah diterima alat indera melalui syaraf-syaraf
sensoris ke otak. Tahap ketiga merupakan proses yang dikenal dengan nama proses
psikologis, yaitu proses dalam otak, sehingga individu mengerti, menyadari,
menafsirkan dan menilai objek tersebut.
Tahap
keempat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa
tanggapan, gambaran atau kesan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses terjadinya
persepsi adalah suatu proses dimana stimulus ditangkap oleh panca indra, proses
persepsi perlu ada perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi, karena
keadaan menunjukkan individu tidak hanya dikenai satu stimulus saja, tetapi
dikenai bermacam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Diawali dari penangkapan rangsang oleh panca indera,
kemudian diteruskan pada otak, didalam otak rangsang yang ada diproses untuk
mencari pemaknaan dan penafsiran, Hasil persepsi berupa pandangan, tanggapan, dan pengartian seseorang terhadap
obyek yang dipersepsi sehingga seseorang
dapat memberikan tanggapan mengenai baik buruknya hal tersebut.
B.
Profesi
1. Pengertian
Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan
yang membutuhkan suatu keahlian khusus dibidang tertentu. Tidak semua jenis pekerjaan
dapat dikatakan sebagai suatu profesi seseorang. Demikian pula tidak semua
orang berkesempatan untuk menjabat dalam sebuah profesi. Seperti yang
diungkapkan oleh Prayitno dan Amti (2004: 338) bahwa “Profesi adalah suatu
jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya
pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak
terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan
pekerjaan itu.”
Sedangkan Menurut UU No.14
Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4 dalam http://ophiiciiduduth.blogspot.com/2013/04/pengertian-profesi-dan-ciri-ciri-profesi.html menjelaskan
bahwa “Profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.” Kemudian menurut Orenstein dan Levine dalam Soetjipto dan
Kosasi (2009: 15-16) menjelaskan pengertian profesi adalah jabatan yang sesuai dengan
pengertian profesi dibawah ini:
a.
Melayani
masyarakat merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang
hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
b.
Memerlukan bidang ilmu dan
keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang
dapat melakukannya).
c.
Menggunakan hsil penelitian dan aplikasi
dari teori ke praktek.
d.
Memerlukan pelatihan khusus.
e.
Mempunyai persyaratan masuk.
f.
Otonomi dalam membuat keputusan
tentang ruang lingkup kerja tertentu.
g.
Menerima tanggung jawab terhadap
keputusan yang diambil, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih
tinggi dan mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h.
Mempunyai komitmen terhadap jabatan
dank klien.
i.
Menggunakan administrator untuk
memudahkan profesinya.
j.
Mempunyai organisasi yang diatur oleh
anggota profesi sendiri.
k.
Mempunyai asosiasi profesi.
l.
Mempunyai kode etik.
m.
Mempuyai kadar kepercayaan yang
tinggi dari publik dan anggotanya.
n.
Mempunyai status sosial dan ekonomi
yang tinggi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
profesi adalah
jabatan yang melayani masyarakat sepanjang hayat, memerlukan bidang Ilmu dan keterampilan tertentu
yang dilatih selama pendidikan berlangsung, menggunakan aplikasi dari teori ke
praktek, memerlukan pelatihan kusus dalam waktu yang panjang, mempunyai
komitmen terhadap jabatan dan klien dengan menekankan layanan yang diberikan,
dan mempunyai organisasi dan kode etik yang diatur oleh anggota profesi itu
sendiri.
2. Ciri-Ciri Profesi
Profesi
berarti suatu pekerjaan yang dilakukan untuk memperoleh penghasilan guna
memenuhi keperluan hidup seseorang. Profesi memiliki ciri-ciri tertentu yang
membedakan dengan pekerjaan lainnya. Meski demikian harus disadari bahwa
profesi terus berkembang sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi.
Secara umum profesi memiliki ciri-ciri seperti yang di ungkapkan oleh Sanusi
dalam Soetjipto
dan Kosasi (2009: 17) menjelaskan sebagai berikut:
a.
Suatu
jabatan yang memiliki fungsi dan signifikasi sosial yang menentukan (crusial).
b.
Jabatan yang
menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c.
Keterampilan/keahlian
yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan
teori dan metode ilmiah.
d.
Jabatan itu
berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematika, eksplisit,
yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e.
Jabatan itu
memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f.
Proses
pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi
nilai-nilai profesional itu sendiri.
g.
Dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada
kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h.
Tiap anggota
profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
i.
Dalam
prakteknya melayani masyarakat anggota profesi otonom dan bebas dari campur
tangan orang luar.
j.
Jabatan ini
mempunyai prastise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh
imbalan yang tinggi juga.
Sedangkan menurut Tilaar (2004: 137) menyebutkan beberapa ciri profesi,
yaitu 1) memiliki suatu keahliaan khusus, 2) merupakan suatu panggilan hidup, 3)
memiliki teori-teori yang baku secara universal, 4) mengabdikan diri untuk masyarakat
dan bukan untuk diri sendiri, 5) dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan
kompetensi yang aplikatif, 6) memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya,
7) mempunyai kode etik, 8) mempunyai klien yang
jelas, 9) mempunyai organisasi profesi yang kuat, dan 10) mempunyai hubungan
dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.
Selanjutnya, menurut Nurhadi (2005: 6) mengatakan
bahwa, suatu jabatan dapat termasuk kategori profesi apabila memenuhi setidak-tidaknya
lima syarat, yaitu (a)
Didasarkan atas sosok ilmu pengetahuan teoretik (body of teoritical knowledge), (b) Komitmen untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek secara otonom dan berkekuatan
monopoli, (c)
Adanya kode etik profesi sebagai instrumen untuk memonitor tingkat ketaatan
anggotaya dan sistem sanksi yang perlu diterapkan, (d) Adanya organisasi profesi yang
mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi, dan (e) Sistem sertifikasi bagi individu
yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk dapat menjalankan profesi
tersebut.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri profesi adalah suatu jabatan yang memiliki
suatu keahliaan khusus, memiliki teori-teori yang baku secara universal,
jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang
cukup lama, komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam praktek, adanya organisasi profesi beserta kode etik yang
mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi. Kemudian dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada
kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
- Syarat-Syarat Profesi
Tidak
semua pekerjaan bisa dikatakan profesi. Jabatan tertentu harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Jabatan guru merupakan suatu profesi yang memiliki
syarat dan ketentuan. Syarat jabatan tersebut meliputi keterlibatan intelektual
dalam batang tubuh keilmuan tertentu yang dipelajari selama pendidikan
persiapan profesional. Jabatan yang dikatakan profesi juga harus memiliki
organisasi profesional. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh National Education Association (NEA) (1948) dalam
Soetjipto dan Kosasi (2009: 18) menyarankan kriteria khusus jabatan
guru dan sebagai berikut:
a.
Jabatan yang melibatkan kegiatan
intelektual.
b.
Jabatan yang
menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c.
Jabatan yang
memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang
memerlukan latihan umum belaka).
d.
Jabatan yang
memerlukan ‘latihan dalam jabatan’ yang bersinambungan.
e.
Jabatan yang
menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f.
Jabatan yang
menentukan baku (standarnya) sendiri.
g.
Jabatan yang
lebih mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.
h.
Jabatan yang
mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Sedangkan menurut Robert W. Richey (Arikunto, 1990:
235) dalam Syaefudin (2013: 15) mengemukakan syarat-syarat profesi sebagai
berikut:
1)
Lebih
mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan
pribadi.
2)
Seorang
pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk
mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang
mendukung keahliannya.
3)
Memiliki
kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti
perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4)
Memiliki
kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
5)
Membutuhkan
suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
6)
Adanya
organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam
profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
7)
Memberikan
kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8)
Memandang
profesi suatu karier hidup (alive career) dan menjadi seorang anggota yang
permanen.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
syarat-syarat profesi adalah melibatkan
kegiatan intelektual, menggeluti
suatu batang tubuh ilmu yang khusus, memiliki kualifikasi
tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan
dalam pertumbuhan jabatan, mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal
dibandingkan dengan kepentingan pribadi, memerlukan waktu yang panjang untuk
mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang
mendukung keahliannya, profesi merupakan karir hidup dan tidak berganti-ganti
pekerjaan.
C.
Guru
Bimbingan dan Konseling
1.
Pengertian Guru Bimbingan dan Konseling
Profesi selalu berkaitan dengan
pekerjaan, namun pekerjaan tidak selalu dapat
diartikan sama dengan profesi. Ada perbedaan yang paling mendasar antara
profesi dan pekerjaan yaitu keahlian dalam bidang keilmuannya. Pelaksana dalam kegiatan bimbingan dan konseling adalah guru
Bimbingan dan Konseling. Guru Bimbingan dan Konseling bertugas dan bertanggung
jawab memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik di satuan
pendidikan tertentu. Seperti halnya menurut Prayitno (2004: 5) mengungkapkan
bahwa “Guru Bimbingan
dan Konseling
atau konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan melakukan
pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya.” Kemudian menurut Permendikbud No
81A Tahun 2013 tentang Implementasi kurikulum menjelaskan bahwa “Guru Bimbingan dan Konseling atau konselor adalah guru
yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah siswa.”
Selain itu menurut Harnoto & Sudarmaji (2012:
50) “Guru Bimbingan dan Konseling adalah orang yang memiliki keahlian dalam
bidang pelayanan konseling, sebagai tenaga professional.” Sedangkan secara kualifikasi
akademik dijelaskan dalam Permendiknas No 27 Tahun 2008 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor bahwa “Konselor adalah tenaga
pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu
(S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi
Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga
kependidikan yang terakreditasi.”
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa profesi
guru Bimbingan
dan Konseling
merupakan suatu jabatan yang menuntut keahlian yang telah menyelesaikan
pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan
program Pendidikan Profesi Konselor, berwenang dan memiliki keahlian dalam pelayanan
bimbingan dan konseling, kepada sejumlah siswa serta mau dan mampu melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling
secara
profesional.
2.
Syarat Guru Bimbingan
dan Konseling
Melalui pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan yang profesional. Setiap
pekerjaan yang profesional
membutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu baik mengenai syarat kepribadian, sosial,
pendidikan, maupun syarat profesional. Syarat merupakan hal-hal yang harus
dimiliki guru Bimbingan
dan Konseling
yang dibentuk mulai dari proses pendidikan prajabatan. Menurut Tohirin (2007:
117) syarat-syarat guru Bimbingan
dan Konseling/konselor
yaitu:
a.
Syarat
yang berkenaan dengan kepribadian
Seorang guru pembimbing atau konselor
harus memiliki kepribadian yang baik.
b.
Syarat
yang berkenaan dengan pendidikan
Seorang guru pembimbing atau konselor
selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling
Strata Satu (S1), S2 maupun S3.
c.
Syarat
yang berkenaan dengan pengalaman
Pengalaman memberikan pelayanan
bimbingan dan konseling berkontribusi terhadap keluasan wawasan pembimbing yang
bersangkutan.
d.
Syarat
yang berkenaan dengan kemampuan
Kepemilikan kemampuan atau kompetensi
dan keterampilan oleh guru pembimbing atau konselor merupakan suatu
keniscayaan. Tanpa kepemilikan kemampuan (kompetensi) dan keterampilan, tidak
mungkin guru pembimbing atau konselor dapat melaksanakan tugas secara baik.
Sedangkan selain keempat syarat di atas ada pula syarat lain menurut
Walgito (2010: 40) menyatakan bahwa syarat untuk memenuhi menjadi guru Bimbingan dan Konseling yaitu:
1)
Seorang
guru Bimbingan dan Konseling
harus mempunyai pengetahuan yang cukup luas, baik dari segi teori maupun segi
praktik.
2)
Segi
psikologis, seorang pembimbing harus dapat mengambil tindakan yang bijaksana
jika pembimbing telah cukup dewasa secara psikologis, yang dalam hal ini
dimaksudkan sebagai adanya kemantapan atau kestabilan didalam psikisnya,
terutama dalam hal emosi.
3)
Seorang
pembimbing harus sehat jasmani dan psikisnya.
4)
Seorang
pembimbing harus mempunyai kecintaan terhadap pekerjaannya dan juga terhadap
anak atau individu yang dihadapinya.
5)
Seorang
pembimbing harus mempunyai inisiatif yang baik sehingga usaha bimbingan dan
konseling dapat berkembang ke arah keadaan yang lebih sempurna untuk kemajuan
sekolah.
6)
Karena
bidang gerak dari pembimbing tidak terbatas pada sekolah saja maka seorang
pembimbing harus supel, ramah tamah, dan sopan santun di dalam segala
perbuatannya sehingga pembimbing dapat bekerja sama dan memberikan bantuannya
secukupnya untuk kepentingan anak-anak.
7)
Seorang
pembimbing diharapkan mempunyai sifat-sifat yang dapat menjalankan
prinsip-prinsip, serta kode etik bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya.
Kemudian di dalam Permendiknas No 27 Tahun 2008
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor menyatakan bahwa
“Secara kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan nonformal adalah (a) Sarjana Pendidikan (S-1) dalam
bidang Bimbingan dan Konseling, (b)
Berpendidikan profesi konselor.”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa syarat-syarat untuk menjadi guru Bimbingan dan Konseling adalah seorang guru Bimbingan dan Konseling harus memiliki kepribadian
yang baik dan dapat memahami klien secara psikologis, harus berpendidikan yang
sesuai dengan profesi bidang keilmuannya yaitu S1 Bimbingan dan Konseling dan berpendidikan profesi
konselor, mempunyai pengalaman dan wawasan dalam memberikan pelayanan bimbingan
dan konseling baik secara teori maupun secara praktik, guru Bimbingan dan Konseling hendaknya memiliki
kemampuan atau kompetensi dalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling.
3.
Tugas Guru
Bimbingan dan Konseling
Guru
Bimbingan
dan Konseling mempunyai beberapa tugas
dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru Bimbingan dan Konseling. Beberapa
tugas pokok guru Bimbingan
dan Konseling
merupakan segala aktivitas yang harus dikerjakan selama mengemban profesi
bimbingan dan konseling dan berkaitan erat dengan pelayanan bimbingan dan
konseling terhadap kliennya. Seperti yang dijelaskan oleh Sudrajat (2009: 40) bahwa tugas guru Bimbingan dan Konseling/konselor yaitu membantu
peserta didik dalam:
a.
Pengembangan
kehidupan pribadi yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam
memahami, menilai bakat dan minat.
b.
Pengembangan
kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam
memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan
industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermanfaat.
c.
Pengembangan
kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik
mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/ madrasah
secara mandiri.
d.
Pengembangan
karier, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan
menilai informasi, serta memilih dan
mengambil keputusan karier.
Sedangkan menurut Hikmawati (2011: 23) tugas-tugas
guru bimbingan dan konseling yaitu:
1)
Mengadministrasi
kegiatan bimbingan dan konseling.
2)
Melaksanakan
tindak lanjut hasil analisis evaluasi.
3)
Menganalisis
hasil evaluasi.
4)
Mengevaluasi
proses hasil layanan bimbingan dan konseling.
5)
Melaksanakan
kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling.
6)
Melaksanakan
layanan bidang bimbingan.
7)
Melaksanakan
persiapan kegiatan bimbingan dan konseling.
8)
Melaksanakan
program bimbingan dan konseling.
9)
Memasyarakatkan
bimbingan dan konseling.
Sejalan dengan pendapat
Hikmawati, Juntika
(2009: 47) memaparkan bahwa
tugas seorang guru pembimbing adalah:
(a)
Memasyarakatkan
kegiatan bimbingan
(b)
Merencanakan
program bimbingan
(c)
Melaksanaan
persiapan kegiatan bimbingan
(d)
Melaksanakan
layanan bimbingan
(e)
Melaksanakan
kegiatan penunjang bimbingan
(f)
Menilai
proses dan hasil kegiatan bimbingan
(g)
Menganalisis
hasil pelilaian
(h)
Melaksanakan
tindak lanjut
(i)
Mengadministrasikan
kegiatan bimbingan
(j)
Mempertanggung
jawabkan tugas kepada atasan
Guru Bimbingan dan Konseling adalah salah satu jenis guru. Dalam
Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan
bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah.”
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas guru bimbingan dan konseling adalah memberikan
bantuan kepada seluruh peserta didik tanpa
terkecuali berkaitan dengan bidang
pribadi, sosial, belajar, dan
kariernya pada masa sekarang dan
masa yang akan datang agar peserta didik dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki secara optimal. Tugas guru Bimbingan dan
Konseling terperinci melakukan
administrasi bimbingan dan konseling, merencanaan, melaksanakan layanan
bimbingan dan konseling, melaksanakan
evaluasi, menganalisis, dan
tindak lanjut kegiatan bimbingan dan konseling.
4.
Kompetensi
Guru Bimbingan dan Konseling
Kompetensi profesi menyangkut kemampuan guru Bimbingan dan Konseling dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya terhadap profesi yang dijalaninya. Seperti yang
diungkapkan oleh Hikmawati (2011: 60) bahwa “Kompetensi profesi adalah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan pendidik membimbing peserta didik yang memenuhi standar kompetensi
yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.”
Adapun kompetensi guru Bimbingan dan Konseling atau konselor secara garis
besar menurut Hikmawati (2011: 61) sebagai berikut:
a.
Kompetensi
pengembangan kepribadian
b.
Kompetensi
keilmuan dan keterampilan
c.
Kompetensi
keahlian berkarya
d.
Kompetensi
perilaku berkarya
e.
Kompetensi
kehidupan masyarakat
Kemudian seperti halnya yang tertuang dalam
Permendiknas No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor bahwa kompetensi konselor atau guru bimbingan dan konseling
meliputi:
1)
Kompetensi
Pedagogik
(a)
Menguasai
teori dan praktis pendidikan.
(b)
Mengaplikasikan
perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli.
(c)
Menguasai
esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan
pendidikan.
2)
Kompetensi
Kepribadian
(a)
Beriman
dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(b)
Menghargai
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih.
(c)
Menunjukkan
integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat.
(d)
Menampilkan
kinerja berkualitas tinggi.
3)
Kompetensi
Sosial
(a)
Mengimplementasikan
kolaborasi intern di tempat bekerja.
(b)
Berperan
dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.
(c)
Mengimplementasikan
kolaborasi antarprofesi.
4)
Kompetensi
Profesional
(a)
Menguasai
konsep dan praktis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah
konseli.
(b)
Menguasai
kerangka teoritik dan praksis bimbingan dan konseling.
(c)
Merancang
program bimbingan dan konseling.
(d)
Mengimplementasikan
program bimbingan dan konseling yang khomprehensip.
(e)
Menilai
proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling.
(f)
Memiliki
kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional.
(g)
Menguasai
konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kompetensi
profesi guru Bimbingan dan Konseling meliputi kemampuan guru Bimbingan dan Konseling
dalam mengembangkan kepribadian yang baik, kemampuan keilmuan dan keterampilan
dalam pelayanan bimbingan dan konseling, kemampuan dan keahlian dalam berkarya
yang ditunjukkan dengan perilaku, memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan
yang baik dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling. Secara
garis besar dapat dijelaskan kompetensi yang harus dimiliki konselor adalah
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional.
5.
Pengembangan
Profesi Bimbingan dan Konseling
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara
lain merupakan suatu usaha dalam meningkatkan mutu profesi bimbingan dan
konseling. Pengembangan profesi bimbingan dan konseling dintaranya dengan
melihat unjuk kerja atau kinerja profesional konselor. Seperti yang telah
ditetapkan oleh American School Counselor
Association (ASCA) dalam Prayitno dan Amti (2004: 343) menyatakan unjuk kerja
konselor sebagai berikut:
a.
Menyusun
program bimbingan dan konseling
b.
Menyelenggarakan
konseling perorangan
c.
Memahami
diri sendiri
d.
Merencanakan
pendidikan dan pengembangan pekerjaan siswa
e.
Mengalihtangankan
siswa
f.
Menyelenggarakan
penempatan siswa
g.
Memberikan
bantuan kepada orang tua
h.
Mengadakan
konsultasi dengan staf
i.
Mengadakan
hubungan dengan masyarakat
Sehingga guru Bimbingan dan Konseling diharapkan
dapat melaksanakan layanan bimbingan dan konseling dengan meningkatkan unjuk
kerja dalam menyusun program, menyelenggarakan layanan, melayani siswa dan
dapat menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat. Untuk calon guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat memiliki
wawasan dan menguasai serta melaksanakan keterampilan unjuk kerja diatas.
1. Organisasi Profesi Guru Bimbingan
dan Konseling
Sebuah profesi biasanya memiliki organisasi profesi
untuk meningkatkan mutu profesionalnya. Organisasi profesi guru bimbingan dan
konseling merupakan perkumpulan dari beberapa guru bimbingan dan konseling
untuk mengembangkan bidang keilmuanny dan pelayanan nyata bimbingan dan
konseling kepada peserta didik. seperti halnya organisasi profesi yang lain,
organisasi profesi guru bimbingan dan konseling juga memegang tri darma
organisasi profesi yang diungkapkan oleh Prayitno dan Amti (2008: 350) yaitu
“Pengembangan ilmu, pengembangan pelayanan, dan penegakan kode etik profesi.” Demikian pula dalam organisasi
profesi guru Bimbingan
dan Konseling
diharapkan dapat menjalankan ketiga darma tersebut.
Organisasi profesi guru Bimbingan dan Konseling salah satunya adalah Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia (ABKIN) adalah suatu organisasi profesi yang beranggotakan guru Bimbingan dan Konseling atau konselor dengan
kualifikasi pendidikan akademik strata satu (S-1) dari Program Studi Bimbingan
dan Konseling dan Program Pendidikan Konselor (PPK). Dengan adanya organisasi profesi guru Bimbingan dan Konseling ini diharapkan dapat
membantu dan mensejahterakan para anggotanya. Organisasi guru Bimbingan dan Konseling juga memiliki kode etik
yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya.
D.
Persepsi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling terhadap Profesi Guru
Bimbingan dan Konseling
Persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling adalah suatu proses dimana penilaian, anggapan dan penafsiran pada stimulus dalam
lingkungan melalui pengindraan
oleh individu yang sedang menempuh
pendidikan dibidang bimbingan dan konseling pada lembaga pendidikan yang
menyelenggarakannya melalui alat indera. Persepsi merupakan suatu
proses dimana penilaian,
anggapan
dan penafsiran
pada stimulus dalam lingkungan melalui pengindraan. Persepsi juga didasarkan pada pengalaman
tentang objek, peristiwa yang diperoleh melalui informasi dan pesan-pesan yang
didapatkan selama ini. Melalui persepsi individu dapat
bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitar individu. Dalam berinteraksi selalu melibatkan panca indera yang akan menimbulkan persepsi dalam diri manusia. Demikian pula ketika individu
berinteraksi dengan guru Bimbingan dan Konseling.
Profesi guru Bimbingan dan Konseling merupakan suatu jabatan
yang menuntut keahlian dari tenaga ahli yang berwenang dan memiliki keahlian dalam pelayanan
bimbingan dan konseling, serta mau dan mampu melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling
secara
profesional.
Guru Bimbingan
dan Konseling
diharapkan memiliki keahlian dalam membantu peserta didik dalam mengembangkan bidang
pribadi, sosial, belajar dan
karier
sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan melakukan pelayanan
konseling pada bidang tugas pekerjaannya.
Sehingga dalam penelitian ini yang dimaksud persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling adalah penilaian dan anggapan individu yang sedang menempuh pendidikan
dibidang bimbingan dan konseling mengenai jabatan guru bimbingan dan konseling
itu sendiri.
Mahasiwa Bimbingan dan Konseling merupakan penerus generasi guru Bimbingan dan Konseling dimasa yang akan datang. Calon
guru Bimbingan dan Konseling atau konselor menurut Prayitno dalam Prayitno dan
Amti (2008: 344) menyatakan bahwa “Untuk dapat mengikuti program pendidikan
konselor berlaku persyaratan untuk menjadi calon guru yang baik pada umumnya,
yaitu menyayangi anak-anak dan menyukai orang lain, dapat berkomunikasi verbal
secara baik, serta cerdas.” sehingga guru Bimbingan dan Konseling yang baik
dibentuk dalam pendidikan calon guru Bimbingan dan Koseling yitu selama menjadi
mahasiswa.
Mahasiswa sebagai calon guru Bimbingan dan Konseling memiliki anggapan atau persepsi yang berbeda-beda. Baik persepsi
yang positif maupun negatif. Persepsi yang muncul pada diri mahasiswa
diharapkan dapat menambah motivasi dalam menyelesikan pendidikan bimbingan dan
konseling.
E. Kerangka
Berfikir
Kerangka berpikir merupakan hasil
dari pemikiran seorang peneliti yang didasarkan pada konsep atau teori yang
diajukan oleh para pakar tentang variabel yang diteliti. Persepsi mahasiswa Bimbingan dan
Konseling terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling perlu dibentuk sejak
awal menyandang sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling, karena persepsi yang
dimiliki dapat membentuk suatu sikap loyalitas terhadap profesinya.
Hasil pemikiran peneliti yang
didasarkan pada konsep dan teori, kompetensi
yang ditampilkan oleh profesi guru Bimbingan dan Konseling diharapkan sesuai
dengan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga persepsi yang terbentuk dalam diri
mahasiswa Bimbingan dan Konseling berupa persepsi yang positif. Pada akhirnya persepsi yang positif
mengenai profesi yang akan dilaksanakan oleh mahasiswa Bimbingan dan Konseling
setelah selesai masa pendidikannya dapat membentuk loyalitas dan kecintaan
terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling.
Baik buruknya persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling
terhadap profesi guru bimbingan dan konseling dipengaruhi beberapa
faktor, seperti pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki mahasiswa Bimbingan
dan Konseling mengenai profesi guru Bimbingan dan Konseling. Selain itu juga
dipengaruhi oleh keikutsertaan mahasiswa dalam perkuliahan berlangsung.
Terdapat mahasiswa Bimbingan dan Konseling yang mengikuti dengan baik dan aktif
di kelas, namun terdapat pula mahasiswa yang kurang mengikuti perkuliahan
dengan baik. Semakin baik mahasiswa Bimbingan dan Konseling mengikuti perkulaiahan
dan memperluas cakrawala wawasan dan pengetahuannya melalui berbagai sumber,
mahasiswa Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat memiliki persepsi yang baik
dan positif terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling.
Ga ada dftar pustakanya ????
BalasHapus