Senin, 27 April 2015

persepsi- persepsi yang ada pada manusia baik negatif maupun positif


PERSEPSI

1.      Pengertian Persepsi 
Setiap manusia yang memiliki panca indera berkemungkinan untuk membentuk persepsi-persepsi masing-masing dalam pikirannya. Baik itu persepsi positif maupun persepsi negatif tergantung pada pengalaman yang ditangkap panca inderanya. Persepsi diawali dengan penglihatan yaitu sesuatu keadaan yang ditangkap oleh mata ketika peserta didik diberikan rangsangan. Persepsi memiliki kaitan erat antara panca indera dengan otak manusia. Menurut Karwono dan Mularsih (2010: 24) menyatakan bahwa “Persepsi adalah interpretasi tentang situasi yang hidup.
Sejalan dengan Rakhmat (2011: 50) bahwa “Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.” Demikian persepsi menyangkut dengan pengalaman seseorang tentang suatu situasi dan peristiwa dan menafsirkan informasi yang terkandung dari situasi yang dialami. Kemudian senada dengan pendapat diatas, menurut Walgito (2010: 99) menyatakan persepsi merupakan:
Suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, sedangkan penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensori. Stimulus yang mengenai alat individu tersebut kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu.

Selain itu menurut Mar’at dan Kartono (2006: 9) “Persepsi merupakan bagaimana seseorang menerima stimulasi dan diolah, dan diteruskan sebagai suatu kesatuan utuh yang berguna serta terdapat unsur yang ada pada diri setiap manusia yang mempengaruhi proses persepsi.” Kemudian menurut Shaleh (2009: 110) “Persepsi adalah Proses yang menggabungkan dan mengorganisir data-data indra kita (pengindraan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk diri kita sendiri.”
Berdasarkan uraian di atas, bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana penilaian, anggapan dan penafsiran pada stimulus dalam lingkungan melalui pengindraan oleh individu melalui alat indera, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman. Persepsi juga didasarkan pada pengalaman tentang objek, peristiwa yang diperoleh melalui informasi dan pesan-pesan yang didapatkan selama ini. Berfungsinya alat indera yang didasarkan pada pengalaman yang individu dapatkan selama ini membentuk penilaian dan penafsiran terhadap suatu objek tertentu.

2.      Syarat-Syarat Terjadinya Persepsi
  • Persepsi tidak terjadi secara tiba-tiba, namun melalui proses dengan syarat-syarat tertentu. Individu dalam memberikan penilaian dan penafsiran terhadap suatu objek berkaitan dengan indera yang cukup dan berfungsinya alat indera tersebut. Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan sebelum individu mengadakan persepsi, menurut Walgito (2010: 101) ada tiga syarat terjadinya persepsi yaitu:
a.    Adanya objek (sasaran yang diamati)
Objek atau sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau rangsangan yang mengenai alat indera. Objek dalam hal ini adalah kegiatan konseling individual, dimana konseling individual atau stimulus mengenai alat indera atau merupakan reseptor yang bisa berasal dari dalam maupun dari luar.
b.    Adanya indera yang cukup.
Alat indera yang dimaksud adalah alat indera yang menerima stimulus yang kemudian diterima dan diteruskan oleh syaraf sensorik yang selanjutnya akan disampaikan kesusunan saraf pusat sebagai kesadaran. Oleh karena itu siswa diharapkan mempunyai panca indera yang cukup baik sehingga stimulus yang diterima akan diteruskan kesusunan saraf otak.
c.    Adanya perhatian
Perhatian adalah langkah awal atau yang kita sebut sebagai persiapan untuk mengadakan persepsi, sehingga perhatian siswa kepada kegiatan konseling individual adalah fokus utama yang kita laksanakan karena tanpa perhatian persepsi tidak akan terjadi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dilakukan sebelum melakukan persepsi. Syarat yang harus ada adalah adanya obyek yang dipersepsi yang menjadi sasaran utama dalam mengamati dengan indera yang dimiliki individu, adanya indera yang cukup untuk menerima respon/stimulus yang masuk dalam artian indera yang dimiliki berfungsi dengan baik, dan adanya perhatian yang akan menimbulkan stimulus atau rangsangan yang mengenai alat indera. Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi maka persepsi akan muncul pada diri individu.

3.      Ciri-Ciri Persepsi
Persepsi berkaitan erat dengan penginderaan yang terjadi dalam kondisi sadar. Pengideraan yang berarti dan membekas dalam ingatan menghasilkan persepsi tertentu. Persepsi juga memiliki ciri-ciri tertentu yang berkaitan dengan penginderaan dan panca indra, berkaitan dengan dimensi ruang yang ada, demikian pula berkaitan dengan dimensi waktu. Seperti halnya yang diungkapkan oleh ahli berikut agar dihasilkan suatu penginderaan yang bermakna, ada ciri-ciri tertentu dalam dunia persepsi menurut Sobur (2003: 470) yaitu:
a.       Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing-masing indera (cahaya untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi pendengaran; sifat permukaan bagi peraba).
b.      Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita dapat mengatakan atas-bawah, tinggi-rendah, luas-sempit, latar depan-latar belakang).
c.       Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu; seperti cepat-lambat, tua-muda.
d.      Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan.
e.       Dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang berhubungan dengan tujuan dalam diri kita.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa ciri-ciri persepsi yaitu: rangsangan-rangsangan yang diterima harus sesuai dengan pancaindra, mempunyai sifat ruang, mempunyai dimensi waktu, mempunyai struktur yang menyatu, dan persepsi mempunyai dunia penuh arti. Kesesuaian antara rangsangan dengan panca indra akan membentuk suatu informasi yang bermakna dan berarti yang memiliki sifat ruang dan waktu dalam dimensi tertentu.

4.      Indikator-Indikator Persepsi
Persepsi yang merupakan proses penilaian dari hasil pengideraan memiliki beberapa indikator. Persepsi masing-masing orang berbeda karena adanya indikator evaluasi sebagai respon dari rangsangan luar yang ditangkap indera. Hal ini berdasarkan pendapat ahli berikut ada beberapa indikator dalam persepsi, Menurut Robbin (2003: 124-130), indikator-indikator persepsi ada dua macam, yaitu:
a.       Penerimaan yaitu proses penerimaan merupakan indikator terjadinya persepsi dalam tahap fisiologis, yaitu berfungsinya indera untuk menangkap rangsang dari luar.
b.      Evaluasi yaitu: rangsang-rangsang dari luar yang telah ditangkap indera, kemudian dievaluasi oleh individu. Evaluasi ini sangat subjektif. Individu yang satu menilai suatu rangsang sebagai sesuatu yang sulit dan membosankan. Tetapi individu yang lain menilai rangsang yang sama tersebut sebagai sesuatu yang bagus dan menyenangkan.

Meskipun rangsangan yang diterima indera dari individu satu dengan yang lain sama, namun setiap individu memiliki cara evaluasi yang berbeda-beda. Sejalan dengan pendapat di atas juga diungkapkan oleh ahli lain seperti halnya menurut Hamka (2002: 101-106), indikator persepsi ada dua macam, yaitu:
1)      Menyerap, yaitu stimulus yang berada di luar individu diserap melalui indera, masuk ke dalam otak, mendapat tempat. Di situ terjadi proses analisis, diklasifikasi dan diorganisir dengan pengalaman-pengalaman individu yang telah dimiliki sebelumnya. Karena itu penyerapan itu bersifat individual berbeda satu sama lain meskipun stimulus yang diserap sama.
2)      Mengerti atau memahami, yaitu indikator adanya persepsi sebagai hasil proses klasifikasi dan organisasi. Tahap ini terjadi dalam proses psikis. Hasil analisis berupa pengertian atau pemahaman. Pengertian atau pemahaman tersebut juga bersifat subjektif, berbeda -beda bagi setiap individu.

Sedangkan menurut Walgito (1990: 54-55) indikator persepsi ada tiga macam yaitu:
(a)    Penyerapan terhadap rangsang atau objek dari luar individu. Rangsang atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca indera, baik penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pencecap secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dari hasil penyerapan atau penerimaan oleh alat-alat indera tersebut akan mendapatkan gambaran, tanggapan, atau kesan di dalam otak. Gambaran tersebut dapat tunggal maupun jamak, tergantung objek persepsi yang diamati. Di dalam otak terkumpul gambaran-gambaran atau kesan-kesan, baik yang lama maupun yang baru saja terbentuk. Jelas tidaknya gambaran tersebut tergantung dari jelas tidaknya rangsang, normalitas alat indera dan waktu, baru saja atau sudah lama.
(b)   Pengertian atau pemahaman yaitu: setelah terjadi gambaran-gambaran atau kesan-kesan di dalam otak, maka gambaran tersebut diorganisir, digolong–golongkan (diklasifikasi), dibandingkan, diinterpretasi, sehingga terbentuk pengertian atau pemahaman. Proses terjadinya pengertian atau pemahaman tersebut sangat unik dan cepat. Pengertian yang terbentuk tergantung juga pada gambaran-gambaran lama yang telah dimiliki individu sebelumnya (disebut apersepsi).
(c)    Penilaian atau evaluasi yaitu: setelah terbentuk pengertian atau pemahaman , terjadilah penilaian dari individu. Individu membandingkan pengertian atau pemahaman yang baru diperoleh tersebut dengan kriteria atau norma yang dimiliki individu secara subjektif. Penilaian individu berbeda-beda meskipun objeknya sama. Oleh karena itu persepsi bersifat individual.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa indikator persepsi ada tiga, yaitu menyerap atau menangkap rangsang atau objek diluar individu dengan mengamati melalui panca indera, mengerti dan memahami objek yang telah diserap sebelumnya dan meninggalkan kesan dalam otak individu, dan menilai dari keseluruhan objek dengan membandingkan wawasan dan pengalaman yang diyakini oleh individu. Secara garis besar indikator persepsi meliputi pengamatan, pemahaman dan penilaian.

5.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi, berikut diuraikan beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi itu sendiri. Persepsi mahasiswa terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling atau konselor merupakan pandangan atau pendapat mahasiswa terhadap profesi guru bimbingan dan konseling. Faktor tersebut dapat muncul dari dalam maupun dari luar individu itu sendiri. Menurut Walgito (2010: 101) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi itu sendiri, diantaranya sebagai berikut:
a.       Adanya objek (sasaran yang diamati)
Objek atau sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau rangsangan yang mengenai alat indera. Objek dalam hal ini adalah kegiatan konseling individual, dimana konseling individual atau stimulus mengenai alat indera atau merupakan reseptor yang bisa berasal dari dalam maupun dari luar.
b.      Adanya indera yang cukup.
Alat indera yang dimaksud adalah alat indera yang menerima stimulus yang kemudian diterima dan diteruskan oleh syaraf sensorik yang selanjutnya akan disampaikan kesusunan saraf pusat sebagai kesadaran. Oleh karena itu siswa diharapkan mempunyai panca indera yang cukup baik sehingga stimulus yang diterima akan diteruskan kesusunan saraf otak.
c.       Adanya perhatian
Perhatian adalah langkah awal atau yang kita sebut sebagai persiapan untuk mengadakan persepsi, sehingga perhatian siswa kepada kegiatan konseling individual adalah fokus utama yang kita laksanakan karena tanpa perhatian persepsi tidak akan terjadi.

Selanjutnya Menurut Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut:
1)        Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.
2)        Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.

Kemudian menurut Rakhmat (2011: 54-60) terbentuknya persepsi pada diri individu dipengaruhi oleh banyak hal yaitu:
Bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain; a) faktor fungsional, yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, sifat-sifat individual dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan stimuli itu. Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yaitu persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. b) Faktor struktural, berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya. Pada faktor ini, Krech dan Crutchfield (1985) menyebutkan bahwa medan persepsual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Ini berarti bahwa seseorang mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima itu tidak lengkap, orang akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsi.

Kemudian menurut Walgito (2004: 90) menyatakan “Beberapa faktor yang berperan, yang merupakan syarat agar terjadi persepsi, yaitu: (1) objek atau stimulus yang dipersepsi; (2) Alat indra dan syaraf-syaraf serta pusat susunan syaraf, yang merupakan syarat fisiologis; dan (3) perhatian yang merupakan syarat psikologis.”
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa yang menentukan persepsi yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri individu seperti perasaan, keingina, prasangka dan yang berkaitan dengan keinginan individu, pengalaman yang dimiliki, keluasan wawasan individu terhadap objek tersebut. faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu seperti latar belakang keluarga, intensitas individu dalam berinteraksi dengan objek tersebut. faktor fungsional yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhan, dan faktor struktural yang ditimbulkan dari rangsangan fisik dan efek-efek syaraf suatu individu.



6.      Proses Terjadinya Persepsi
Persepsi terjadi karena adanya pemahaman terhadap rangsang atau stimulus yang diperoleh oleh panca indera kemudian dievaluasi sesuai dengan rangsang yang ditangkap indera dan pengetahuan individu serta wawasan yang dimilikinya. Proses terjadinya persepsi melalui proses secara fisik dan psikis. Sesuai pendapat Sobur (2003: 446) bahwa:
Proses terjadinya persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan ditetapkan kepada manusia. Subproses psikologis lainnya yang mungkin adalah pengenalan, perasaan, dan penalaran. Persepsi dan kognisi diperlukan dalam semua kegiatan psikologis.

Sejalan dengan hal itu menurut Walgito (2010: 102) juga mengungkapkan bahwa:
Proses terjadinya persepsi adalah dengan adanya objek yang menimbulkan stimulus dan stimulus tersebut mengenai alat indera atau yang biasa disebut resptor. Antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus menjadi satu, misalnya dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung mengenai kulit, sehingga akan terasa tekanannya. Pada proses persepsi perlu ada perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi, karena keadaan menunjukkan individu tidak hanya dikenai satu stimulus saja, tetapi dikenai bermacam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya.

Sedangkan menurut Hamka (2002: 81), proses terjadinya persepsi melalui tahap–tahap sebagai berikut:
Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, yaitu proses ditangkapnya suatu stimulus (objek) oleh panca indera. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, yaitu proses diteruskannya stimulus atau objek yang telah diterima alat indera melalui syaraf-syaraf sensoris ke otak. Tahap ketiga merupakan proses yang dikenal dengan nama proses psikologis, yaitu proses dalam otak, sehingga individu mengerti, menyadari, menafsirkan dan menilai objek tersebut. Tahap keempat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan, gambaran atau kesan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses terjadinya persepsi adalah suatu proses dimana stimulus ditangkap oleh panca indra, proses persepsi perlu ada perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi, karena keadaan menunjukkan individu tidak hanya dikenai satu stimulus saja, tetapi dikenai bermacam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Diawali dari penangkapan rangsang oleh panca indera, kemudian diteruskan pada otak, didalam otak rangsang yang ada diproses untuk mencari pemaknaan dan penafsiran, Hasil persepsi berupa pandangan, tanggapan, dan pengartian seseorang terhadap obyek yang dipersepsi sehingga seseorang dapat memberikan tanggapan mengenai baik buruknya hal tersebut.

B.       Profesi
1.    Pengertian Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan suatu keahlian khusus dibidang tertentu. Tidak semua jenis pekerjaan dapat dikatakan sebagai suatu profesi seseorang. Demikian pula tidak semua orang berkesempatan untuk menjabat dalam sebuah profesi. Seperti yang diungkapkan oleh Prayitno dan Amti (2004: 338) bahwa “Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.”
Sedangkan Menurut UU No.14 Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4 dalam http://ophiiciiduduth.blogspot.com/2013/04/pengertian-profesi-dan-ciri-ciri-profesi.html menjelaskan bahwa “Profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.” Kemudian menurut Orenstein dan Levine dalam Soetjipto dan Kosasi (2009: 15-16) menjelaskan pengertian profesi adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi dibawah ini:
a.       Melayani masyarakat merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
b.      Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
c.       Menggunakan hsil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek.
d.      Memerlukan pelatihan khusus.
e.       Mempunyai persyaratan masuk.
f.       Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu.
g.      Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi dan mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h.      Mempunyai komitmen terhadap jabatan dank klien.
i.        Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya.
j.        Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k.      Mempunyai asosiasi profesi.
l.        Mempunyai kode etik.
m.    Mempuyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan anggotanya.
n.      Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa profesi adalah jabatan yang melayani masyarakat sepanjang hayat, memerlukan bidang Ilmu dan keterampilan tertentu yang dilatih selama pendidikan berlangsung, menggunakan aplikasi dari teori ke praktek, memerlukan pelatihan kusus dalam waktu yang panjang, mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan menekankan layanan yang diberikan, dan mempunyai organisasi dan kode etik yang diatur oleh anggota profesi itu sendiri.

2.    Ciri-Ciri Profesi
Profesi berarti suatu pekerjaan yang dilakukan untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi keperluan hidup seseorang. Profesi memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan pekerjaan lainnya. Meski demikian harus disadari bahwa profesi terus berkembang sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Secara umum profesi memiliki ciri-ciri seperti yang di ungkapkan oleh Sanusi dalam Soetjipto dan Kosasi (2009: 17) menjelaskan sebagai berikut:
a.       Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikasi sosial yang menentukan (crusial).
b.      Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c.       Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d.      Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematika, eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e.       Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f.       Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
g.      Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h.      Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
i.        Dalam prakteknya melayani masyarakat anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.
j.        Jabatan ini mempunyai prastise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi juga.

Sedangkan menurut Tilaar (2004: 137) menyebutkan beberapa ciri profesi, yaitu 1) memiliki suatu keahliaan khusus, 2) merupakan suatu panggilan hidup, 3) memiliki teori-teori yang baku secara universal, 4) mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, 5) dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif, 6) memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya, 7) mempunyai kode etik, 8) mempunyai klien yang jelas, 9) mempunyai organisasi profesi yang kuat, dan 10) mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.
Selanjutnya, menurut Nurhadi (2005: 6) mengatakan bahwa, suatu jabatan dapat termasuk kategori profesi apabila memenuhi setidak-tidaknya lima syarat, yaitu (a) Didasarkan atas sosok ilmu pengetahuan teoretik (body of teoritical knowledge), (b) Komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek secara otonom dan berkekuatan monopoli, (c) Adanya kode etik profesi sebagai instrumen untuk memonitor tingkat ketaatan anggotaya dan sistem sanksi yang perlu diterapkan, (d) Adanya organisasi profesi yang mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi, dan (e) Sistem sertifikasi bagi individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk dapat menjalankan profesi tersebut.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri profesi adalah suatu jabatan yang memiliki suatu keahliaan khusus, memiliki teori-teori yang baku secara universal, jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama, komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek, adanya organisasi profesi beserta kode etik yang mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi. Kemudian dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.

  1. Syarat-Syarat Profesi
Tidak semua pekerjaan bisa dikatakan profesi. Jabatan tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jabatan guru merupakan suatu profesi yang memiliki syarat dan ketentuan. Syarat jabatan tersebut meliputi keterlibatan intelektual dalam batang tubuh keilmuan tertentu yang dipelajari selama pendidikan persiapan profesional. Jabatan yang dikatakan profesi juga harus memiliki organisasi profesional. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh National Education Association (NEA) (1948) dalam Soetjipto dan Kosasi (2009: 18) menyarankan kriteria khusus jabatan guru dan sebagai berikut:
a.       Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
b.      Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c.       Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
d.      Jabatan yang memerlukan ‘latihan dalam jabatan’ yang bersinambungan.
e.       Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f.       Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
g.      Jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.
h.      Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

Sedangkan menurut Robert W. Richey (Arikunto, 1990: 235) dalam Syaefudin (2013: 15) mengemukakan syarat-syarat profesi sebagai berikut:
1)      Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
2)      Seorang pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
3)      Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4)      Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
5)      Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
6)      Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
7)      Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8)      Memandang profesi suatu karier hidup (alive career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat profesi adalah melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus, memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan, mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi, memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya, profesi merupakan karir hidup dan tidak berganti-ganti pekerjaan.

C.      Guru Bimbingan dan Konseling 
1.      Pengertian Guru Bimbingan dan Konseling
Profesi selalu berkaitan dengan pekerjaan, namun pekerjaan tidak selalu dapat diartikan sama dengan profesi. Ada perbedaan yang paling mendasar antara profesi dan pekerjaan yaitu keahlian dalam bidang keilmuannya. Pelaksana dalam kegiatan bimbingan dan konseling adalah guru Bimbingan dan Konseling. Guru Bimbingan dan Konseling bertugas dan bertanggung jawab memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan tertentu. Seperti halnya menurut Prayitno (2004: 5) mengungkapkan bahwa “Guru Bimbingan dan Konseling atau konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya.” Kemudian menurut Permendikbud No 81A Tahun 2013 tentang Implementasi kurikulum menjelaskan bahwa “Guru Bimbingan dan Konseling atau konselor adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah siswa.
Selain itu menurut Harnoto & Sudarmaji (2012: 50)  “Guru Bimbingan dan Konseling  adalah orang yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling, sebagai tenaga professional.” Sedangkan secara kualifikasi akademik dijelaskan dalam Permendiknas No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor bahwa “Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa profesi guru Bimbingan dan Konseling merupakan suatu jabatan yang menuntut keahlian yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor, berwenang dan memiliki keahlian dalam pelayanan bimbingan dan konseling, kepada sejumlah siswa serta mau dan mampu melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling secara profesional.

2.      Syarat Guru Bimbingan dan Konseling
Melalui pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan yang profesional. Setiap pekerjaan yang profesional membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu baik mengenai syarat kepribadian, sosial, pendidikan, maupun syarat profesional. Syarat merupakan hal-hal yang harus dimiliki guru Bimbingan dan Konseling yang dibentuk mulai dari proses pendidikan prajabatan. Menurut Tohirin (2007: 117) syarat-syarat guru Bimbingan dan Konseling/konselor yaitu:
a.       Syarat yang berkenaan dengan kepribadian
Seorang guru pembimbing atau konselor harus memiliki kepribadian yang baik.
b.      Syarat yang berkenaan dengan pendidikan
Seorang guru pembimbing atau konselor selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3.
c.       Syarat yang berkenaan dengan pengalaman
Pengalaman memberikan pelayanan bimbingan dan konseling berkontribusi terhadap keluasan wawasan pembimbing yang bersangkutan.
d.      Syarat yang berkenaan dengan kemampuan
Kepemilikan kemampuan atau kompetensi dan keterampilan oleh guru pembimbing atau konselor merupakan suatu keniscayaan. Tanpa kepemilikan kemampuan (kompetensi) dan keterampilan, tidak mungkin guru pembimbing atau konselor dapat melaksanakan tugas secara baik.

Sedangkan selain keempat syarat di atas ada pula syarat lain menurut Walgito (2010: 40) menyatakan bahwa syarat untuk memenuhi menjadi guru Bimbingan dan Konseling yaitu:
1)      Seorang guru Bimbingan dan Konseling harus mempunyai pengetahuan yang cukup luas, baik dari segi teori maupun segi praktik.
2)      Segi psikologis, seorang pembimbing harus dapat mengambil tindakan yang bijaksana jika pembimbing telah cukup dewasa secara psikologis, yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai adanya kemantapan atau kestabilan didalam psikisnya, terutama dalam hal emosi.
3)      Seorang pembimbing harus sehat jasmani dan psikisnya.
4)      Seorang pembimbing harus mempunyai kecintaan terhadap pekerjaannya dan juga terhadap anak atau individu yang dihadapinya.
5)      Seorang pembimbing harus mempunyai inisiatif yang baik sehingga usaha bimbingan dan konseling dapat berkembang ke arah keadaan yang lebih sempurna untuk kemajuan sekolah.
6)      Karena bidang gerak dari pembimbing tidak terbatas pada sekolah saja maka seorang pembimbing harus supel, ramah tamah, dan sopan santun di dalam segala perbuatannya sehingga pembimbing dapat bekerja sama dan memberikan bantuannya secukupnya untuk kepentingan anak-anak.
7)      Seorang pembimbing diharapkan mempunyai sifat-sifat yang dapat menjalankan prinsip-prinsip, serta kode etik bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya.

Kemudian di dalam Permendiknas No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor menyatakan bahwa “Secara kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah (a) Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling, (b) Berpendidikan profesi konselor.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi guru Bimbingan dan Konseling adalah seorang guru Bimbingan dan Konseling harus memiliki kepribadian yang baik dan dapat memahami klien secara psikologis, harus berpendidikan yang sesuai dengan profesi bidang keilmuannya yaitu S1 Bimbingan dan Konseling dan berpendidikan profesi konselor, mempunyai pengalaman dan wawasan dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling baik secara teori maupun secara praktik, guru Bimbingan dan Konseling hendaknya memiliki kemampuan atau kompetensi dalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling.

3.      Tugas Guru  Bimbingan dan Konseling
Guru Bimbingan dan Konseling mempunyai beberapa tugas dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru Bimbingan dan Konseling. Beberapa tugas pokok guru Bimbingan dan Konseling merupakan segala aktivitas yang harus dikerjakan selama mengemban profesi bimbingan dan konseling dan berkaitan erat dengan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap kliennya. Seperti yang dijelaskan oleh  Sudrajat (2009: 40) bahwa tugas guru Bimbingan dan Konseling/konselor yaitu membantu peserta didik dalam:
a.     Pengembangan kehidupan pribadi yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat.
b.    Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermanfaat.
c.     Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/ madrasah secara mandiri.
d.    Pengembangan karier, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan  mengambil keputusan karier.

Sedangkan menurut Hikmawati (2011: 23) tugas-tugas guru bimbingan dan konseling yaitu:
1)       Mengadministrasi kegiatan bimbingan dan konseling.
2)       Melaksanakan tindak lanjut hasil analisis evaluasi.
3)       Menganalisis hasil evaluasi.
4)       Mengevaluasi proses hasil layanan bimbingan dan konseling.
5)       Melaksanakan kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling.
6)       Melaksanakan layanan bidang bimbingan.
7)       Melaksanakan persiapan kegiatan bimbingan dan konseling.
8)       Melaksanakan program bimbingan dan konseling.
9)       Memasyarakatkan bimbingan dan konseling.

Sejalan dengan pendapat Hikmawati, Juntika (2009: 47) memaparkan bahwa tugas seorang guru pembimbing adalah:
(a)   Memasyarakatkan kegiatan bimbingan
(b)   Merencanakan program bimbingan
(c)    Melaksanaan persiapan kegiatan bimbingan
(d)   Melaksanakan layanan bimbingan
(e)    Melaksanakan kegiatan penunjang bimbingan
(f)    Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan
(g)   Menganalisis hasil pelilaian
(h)   Melaksanakan tindak lanjut
(i)     Mengadministrasikan kegiatan bimbingan
(j)     Mempertanggung jawabkan tugas kepada atasan

Guru Bimbingan dan Konseling adalah salah satu jenis guru. Dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas guru bimbingan dan konseling adalah memberikan bantuan kepada seluruh peserta didik tanpa terkecuali berkaitan dengan bidang pribadi, sosial, belajar, dan kariernya pada masa sekarang dan masa yang akan datang agar peserta didik dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki secara optimal. Tugas guru Bimbingan dan Konseling terperinci melakukan administrasi bimbingan dan konseling, merencanaan, melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, melaksanakan  evaluasi, menganalisis, dan tindak lanjut kegiatan bimbingan dan konseling.

4.      Kompetensi Guru Bimbingan dan Konseling
Kompetensi profesi menyangkut kemampuan guru Bimbingan dan Konseling dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terhadap profesi yang dijalaninya. Seperti yang diungkapkan oleh Hikmawati (2011: 60) bahwa “Kompetensi profesi adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan pendidik membimbing peserta didik yang memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Adapun kompetensi guru Bimbingan dan Konseling atau konselor secara garis besar menurut Hikmawati (2011: 61) sebagai berikut:
a.       Kompetensi pengembangan kepribadian
b.      Kompetensi keilmuan dan keterampilan
c.       Kompetensi keahlian berkarya
d.      Kompetensi perilaku berkarya
e.       Kompetensi kehidupan masyarakat

Kemudian seperti halnya yang tertuang dalam Permendiknas No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor bahwa kompetensi konselor atau guru bimbingan dan konseling meliputi:
1)      Kompetensi Pedagogik
(a)    Menguasai teori dan praktis pendidikan.
(b)   Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli.
(c)    Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan.
2)      Kompetensi Kepribadian
(a)    Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(b)   Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih.
(c)    Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat.
(d)   Menampilkan kinerja berkualitas tinggi.
3)      Kompetensi Sosial
(a)    Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja.
(b)   Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.
(c)    Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi.
4)      Kompetensi Profesional
(a)    Menguasai konsep dan praktis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli.
(b)   Menguasai kerangka teoritik dan praksis bimbingan dan konseling.
(c)    Merancang program bimbingan dan konseling.
(d)   Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling yang khomprehensip.
(e)    Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling.
(f)    Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional.
(g)   Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesi guru Bimbingan dan Konseling meliputi kemampuan guru Bimbingan dan Konseling dalam mengembangkan kepribadian yang baik, kemampuan keilmuan dan keterampilan dalam pelayanan bimbingan dan konseling, kemampuan dan keahlian dalam berkarya yang ditunjukkan dengan perilaku, memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan yang baik dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling. Secara garis besar dapat dijelaskan kompetensi yang harus dimiliki konselor adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
5.      Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain merupakan suatu usaha dalam meningkatkan mutu profesi bimbingan dan konseling. Pengembangan profesi bimbingan dan konseling dintaranya dengan melihat unjuk kerja atau kinerja profesional konselor. Seperti yang telah ditetapkan oleh American School Counselor Association (ASCA) dalam Prayitno dan Amti (2004: 343) menyatakan unjuk kerja konselor sebagai berikut:
a.       Menyusun program bimbingan dan konseling
b.      Menyelenggarakan konseling perorangan
c.       Memahami diri sendiri
d.      Merencanakan pendidikan dan pengembangan pekerjaan siswa
e.       Mengalihtangankan siswa
f.       Menyelenggarakan penempatan siswa
g.      Memberikan bantuan kepada orang tua
h.      Mengadakan konsultasi dengan staf
i.        Mengadakan hubungan dengan masyarakat

Sehingga guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat melaksanakan layanan bimbingan dan konseling dengan meningkatkan unjuk kerja dalam menyusun program, menyelenggarakan layanan, melayani siswa dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat. Untuk calon guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat memiliki wawasan dan menguasai serta melaksanakan keterampilan unjuk kerja diatas.

1.    Organisasi Profesi Guru Bimbingan dan Konseling
Sebuah profesi biasanya memiliki organisasi profesi untuk meningkatkan mutu profesionalnya. Organisasi profesi guru bimbingan dan konseling merupakan perkumpulan dari beberapa guru bimbingan dan konseling untuk mengembangkan bidang keilmuanny dan pelayanan nyata bimbingan dan konseling kepada peserta didik. seperti halnya organisasi profesi yang lain, organisasi profesi guru bimbingan dan konseling juga memegang tri darma organisasi profesi yang diungkapkan oleh Prayitno dan Amti (2008: 350) yaitu “Pengembangan ilmu, pengembangan pelayanan, dan penegakan kode etik profesi.” Demikian pula dalam organisasi profesi guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat menjalankan ketiga darma tersebut.
Organisasi profesi guru Bimbingan dan Konseling salah satunya adalah Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) adalah suatu organisasi profesi yang beranggotakan guru Bimbingan dan Konseling atau konselor dengan kualifikasi pendidikan akademik strata satu (S-1) dari Program Studi Bimbingan dan Konseling dan Program Pendidikan Konselor (PPK).  Dengan adanya organisasi profesi guru Bimbingan dan Konseling ini diharapkan dapat membantu dan mensejahterakan para anggotanya. Organisasi guru Bimbingan dan Konseling juga memiliki kode etik yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya.

D.      Persepsi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling terhadap Profesi Guru Bimbingan dan Konseling

Persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling adalah suatu proses dimana penilaian, anggapan dan penafsiran pada stimulus dalam lingkungan melalui pengindraan oleh individu yang sedang menempuh pendidikan dibidang bimbingan dan konseling pada lembaga pendidikan yang menyelenggarakannya melalui alat indera. Persepsi merupakan suatu proses dimana penilaian, anggapan dan penafsiran pada stimulus dalam lingkungan melalui pengindraan. Persepsi juga didasarkan pada pengalaman tentang objek, peristiwa yang diperoleh melalui informasi dan pesan-pesan yang didapatkan selama ini. Melalui persepsi individu dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitar individu. Dalam berinteraksi selalu melibatkan panca indera yang akan menimbulkan persepsi dalam diri manusia. Demikian pula ketika individu berinteraksi dengan guru Bimbingan dan Konseling.
Profesi guru Bimbingan dan Konseling merupakan suatu jabatan yang menuntut keahlian dari tenaga ahli yang berwenang dan memiliki keahlian dalam pelayanan bimbingan dan konseling, serta mau dan mampu melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling secara profesional. Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan memiliki keahlian dalam membantu peserta didik dalam mengembangkan bidang pribadi, sosial, belajar dan karier sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya.
Sehingga dalam penelitian ini yang dimaksud persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling adalah penilaian dan anggapan individu yang sedang menempuh pendidikan dibidang bimbingan dan konseling mengenai jabatan guru bimbingan dan konseling itu sendiri.
Mahasiwa Bimbingan dan Konseling merupakan penerus generasi guru Bimbingan dan Konseling dimasa yang akan datang. Calon guru Bimbingan dan Konseling atau konselor menurut Prayitno dalam Prayitno dan Amti (2008: 344) menyatakan bahwa “Untuk dapat mengikuti program pendidikan konselor berlaku persyaratan untuk menjadi calon guru yang baik pada umumnya, yaitu menyayangi anak-anak dan menyukai orang lain, dapat berkomunikasi verbal secara baik, serta cerdas.” sehingga guru Bimbingan dan Konseling yang baik dibentuk dalam pendidikan calon guru Bimbingan dan Koseling yitu selama menjadi mahasiswa.
Mahasiswa sebagai calon guru Bimbingan dan Konseling memiliki anggapan atau persepsi yang berbeda-beda. Baik persepsi yang positif maupun negatif. Persepsi yang muncul pada diri mahasiswa diharapkan dapat menambah motivasi dalam menyelesikan pendidikan bimbingan dan konseling.

E.     Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir merupakan hasil dari pemikiran seorang peneliti yang didasarkan pada konsep atau teori yang diajukan oleh para pakar tentang variabel yang diteliti. Persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling perlu dibentuk sejak awal menyandang sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling, karena persepsi yang dimiliki dapat membentuk suatu sikap loyalitas terhadap profesinya.
Hasil pemikiran peneliti yang didasarkan pada konsep dan teori, kompetensi yang ditampilkan oleh profesi guru Bimbingan dan Konseling diharapkan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga persepsi yang terbentuk dalam diri mahasiswa Bimbingan dan Konseling berupa persepsi yang positif. Pada akhirnya persepsi yang positif mengenai profesi yang akan dilaksanakan oleh mahasiswa Bimbingan dan Konseling setelah selesai masa pendidikannya dapat membentuk loyalitas dan kecintaan terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling.
Baik buruknya persepsi mahasiswa Bimbingan dan Konseling terhadap profesi guru bimbingan dan konseling dipengaruhi beberapa faktor, seperti pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki mahasiswa Bimbingan dan Konseling mengenai profesi guru Bimbingan dan Konseling. Selain itu juga dipengaruhi oleh keikutsertaan mahasiswa dalam perkuliahan berlangsung. Terdapat mahasiswa Bimbingan dan Konseling yang mengikuti dengan baik dan aktif di kelas, namun terdapat pula mahasiswa yang kurang mengikuti perkuliahan dengan baik. Semakin baik mahasiswa Bimbingan dan Konseling mengikuti perkulaiahan dan memperluas cakrawala wawasan dan pengetahuannya melalui berbagai sumber, mahasiswa Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat memiliki persepsi yang baik dan positif terhadap profesi guru Bimbingan dan Konseling.












 
















1 komentar: